Deflasi 5 Bulan RI, China Biang Keroknya?

Suasana gedung perkotaan Ibukota Jakarta, Selasa, (4/7). Indonesia resmi naik kelas menjadi negara berpenghasilan menengah atas alias upper middle income country berdasarkan kategorisasi terbaru yang dirilis Bank Dunia. 
 (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Deflasi yang dialami Indonesia dipicu beragam faktor, salah satunya karena lebih murahnya barang-barang yang diimpor dari China.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/10/2024) mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 turun atau mencatat deflasi sebesar 0,12% secara bulanan atau month to month (mtm). Angka deflasi itu semakin dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03%.

Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan deflasi beruntun dalam satu tahun kalender ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Ia mengatakan, kondisi ini pernah terjadi saat Indonesia melalui krisis moneter (krismon) atau krisis finansial Asia pada 1998-1999.

Sebagai catatan, terakhir kali Indonesia mengalami deflasi (mtm) selama lima bulan adalah pada 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatat deflasi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,71%), September (-0,91%), dan Oktober (-0,09%).

Perlu dicatat jika kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu sedang carut-marut karena krisis pada 1997/1998.

Harga pangan yang cenderung menurun memang menjadi pendorong terjadinya deflasi secara bulanan. Bahkan Bank Central Asia (BCA) dalam laporannya yang berjudul CPI Inflation: Deeper into the deflationary spiral menyampaikan bahwa deflasi pangan mungkin akan berlanjut di tengah musim panen Oktober-November.

“Kisah di balik deflasi ini tetap sama. Permintaan agregat yang lemah terus menjadi masalah, dan kita memang melihat kemungkinan pelemahan lebih lanjut dalam indeks data besar kami pada bulan September. Namun, gambaran ini akan tidak lengkap tanpa mempertimbangkan situasi sisi pasokan dari barang impor dan bahan pangan,” dikutip dari laporan BCA.

Laporan tersebut juga mengatakan bahwa setelah inflasi impor yang singkat antara April dan Juli (terutama disebabkan oleh depresiasi rupiah terhadap dolar AS), harga impor kembali memasuki wilayah deflasi pada Agustus (-1,15% YoY).

Kendati penguatan rupiah jelas menjadi faktor pendorong pergeseran ini, data Indeks Harga Konsumen (IHK) di negara lain menunjukkan bahwa barang-barang manufaktur secara umum mengalami deflasi, akibat dari semakin lebar jarak antara produksi industri (pasokan) dan konsumsi ritel (permintaan) di China.

Kelebihan barang dari China yang saat ini sedang membanjiri dunia tampak menenggelamkan dalam deflasi. Kelebihan barang di China ini kemudian diekspor ke negara lain dengan harga murah.

Dikutip dari TD Economics, laporan tentang kapasitas berlebih telah menjadi sorotan. Dalam konteks ini, produksi kendaraan listrik (EV) menjadi perhatian setelah AS, Eropa, dan yang terbaru, Kanada, menaikkan tarif untuk ekspor produk tersebut dari China. Namun, EV hanya merupakan salah satu produk dan mewakili bagian yang sangat kecil dari perdagangan antara AS dan China.

Selain itu, seluruh ekonomi China berada dalam kondisi kelebihan pasokan saat terus menghadapi pasar perumahan yang lesu dan beban utang yang terkait.

Pabrik dan pengembang di China menghadapi periode yang berkepanjangan dengan kekuatan harga yang rendah, yang memiliki implikasi signifikan bagi konsumen di seluruh dunia.

Keterkaitan langsung mengalir melalui barang-barang yang diproduksi di China dan dikirim ke pasar di seluruh dunia. Pemanfaatan kapasitas industri di China telah menurun sejak 2021, dan harga ekspor (dalam istilah yuan) telah jatuh sejak Mei 2023.

Penurunan harga ekspor China ini membantu meredakan inflasi di berbagai negara maju hingga negara berkembang termasuk Indonesia.

Dilansir dari Oxford Economics, sejak April hingga Desember 2023, harga ekspor China turun sebesar 6%. Di antara kategori yang menyusun indeks nilai unit ekspor total, harga ekspor batu dan kaca mengalami penurunan paling besar, diikuti oleh bahan kimia dan logam dasar.

Namun, kontribusi relatif besar dari mesin dan peralatan listrik (diperkirakan mencapai 30,7%) memastikan bahwa kategori ini memberikan kontribusi terbesar (hampir 3 poin persentase) terhadap penurunan total indeks selama periode tersebut.

https://basunews.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*